Senin, 23 Agustus 2010

SEJARAH DESA TARO

Berbicara Desa Taro tak bisa lepas dengan keberadaan sapi putih di desa tersebut. Demikian pula dengan kerajinan paras dan Pura Kahyangan Jagat, Pura Gunung Raung. Namun belakangan ini, selain menyebut sapi putih masyarakat juga mulai menyebut-nyebut nama gajah.
Desa Adat Taro berjarak kurang lebih 40 kilometer dari Denpasar. Bisa ditempuh sekitar satu jam dengan melewati kawasan hijau dengan udara sejuk. Konon, seperti diyakini masyarakat setempat Desa Taro erat kaitannya dengan kedatangan Rsi Markandya. Made Puri, yang telah menjadi Bendesa Adat Taro sejak tahun 1952 menuturkan tentang kedatangan Rsi Markandya. Beliau berkata “Dari cerita tetua saya, konon desa ini ada berkat Rsi Markandya yang datang dari Jawa dan dalam tapanya melihat sinar dari kawasan ini,” terangnya. Sinar inilah yang konon menyebabkan Rsi Markandya datang dan hendak tinggal di kawasan yang dulu disebut Sarwada. Sarwada merupakan singkatan dari Sarwa Ada (Serba Ada). Lama kelamaan desa ini berubah nama dan disebut Desa Taro, ucapnya sejurus kemudian.
Secara geografis Desa Taro merupakan bagian dari kawasan Munduk Gunung Lebah, dataran tinggi yang membujur dari Utara ke Selatan diapit oleh dua aliran sungai yakni sungai Oos Ulu Luh di sebelah Barat dan sungai Oos Ulu Muani di sebelah Timur. Kedua aliran sungai ini kemudian menyatu di tepi Barat Desa Ubud yang dikenal dengan nama Campuhan Ubud. Di bagian Utara Desa Taro berbatasan dengan Desa Apuan, Kintamani, di Timur dengan Desa Sebatu, Tegallalang, Selatan berbatasan dengan Desa Kelusa, Tegallalang, di Barat dengan Desa Puhu, Payangan. Wilayah Desa Adat taro terdiri dari 14 Desa Adat yakni, Sengkaduan, Alas Pujung, Tebuana, Let, Pisang Kaja, Pisang Kelod, Patas, Belong, Puakan, Pakuseba, Taro Kaja, Taro Kelod, Tatag, dan Desa Adat Ked.

Kisah Sapi Putih
Desa Taro memiliki satu keunikan yang tak dimiliki desa lain di Bali yakni dengan adanya sapi putih yang dianggap keramat. Masyarakat Desa Taro, terutama warga Desa Pakraman Taro Kaja sangat meyakini kesucian hewan ini. Bahkan mereka tak berani memelihara secara pribadi apalagi membunuh hewan suci tersebut. Seandainya ada sapi putih yang lahir dari sapi peliharaannya, ketika mencapai umur enam (6) bulan pasti diserahkan pada Desa untuk merawat. Ditambahkan, hingga kini keberadaan sapi putih didesanya mencapai 50 ekor dan dalam kesehariannya, anggota masyarakat ditugaskan secara bergilir untuk memberi makan sapi-sapi tersebut. Intinya sapi tersebut diperlakukan istimewa. Demikian pula dengan keturunan sapi putih tersebut, meskipun lahir berwarna lain.
Selain disucikan sapi putih ini juga dimanfaatkan sebagai sarana pelengkap (saksi) upacara di Bali yaitu Ngasti (dan yang setingkat dengan upacara itu). Lembu (Sapi) Putih ini dibawa ke tempat upacara dan oleh penyelenggara upacara dituntun mengelilingi areal atau tempat upacara sebanyak tiga kali. Upacara ini disebut dengan Purwa Daksina. Rapya menerangkan, untuk dapat menggunakan sapi putih di desanya, pihak desa menarik biaya sewa. Untuk satu kali upacara, baik itu jaraknya jauh atau dekat pihak desa menarik ongkos lebih kurang Rp 600 ribu dengan 15 orang pendamping. Memang, jumlah pendamping tersebut cukup banyak, namun diakuinya hal itu untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan.

Keunikan Sapi Putih yang Tersaingi Gajah
Kini, Desa Taro tak lagi hanya dikenal dengan sapi putihnya, karena sejak beberapa tahun silam perangkat Desa Adat Taro telah bekerjasama dengan investor untuk mengembangkan pariwisata di desanya dengan membuat pariwisata gajah. Tempat wisata gajah itu pun berhadap-hadapan dengan tempat sapi putih. Menurut Rapya, pihak desa menyiapkan lahan sekitar 2,5 hektar untuk tempat wisata gajah itu, dan untuk lahan tersebut pihak desa mendapat bagian keuntungan 15 persen. Hingga kini, populasi gajah di tempat tersebut mencapai 26 ekor.

Pura Gunung Raung Taro, Bali
Keberadaan Pura Gunung Raung di Desa Taro berhubungan dengan perjalanan Dang Hyang Markandya, seorang Rsi dari Pasraman Gunung Raung Jawa Timur ke Bali. Sebagai seorang ”dang hyang” yang sudah berstatus orang suci tentunya beliau terpanggil untuk melakukan penyebaran pendidikan kerohanian yang dalam Sarasamuscaya 40 disebut ”panadahan upadesa”. Dang Hyang Markandya adalah orang suci yang sudah apta atau dapat kepercayaan umat. Dang Hyang Markandya pun menjadi sosok orang suci yang senantiasa dijadikan tumpuan untuk memohon penyucian diri oleh umat. Dalam perjalanan sucinya, sebagai cikal bakalnya beliau mendirikan Pura Basukian sebagai pura yang paling awal didirikan di Pura Besakih. Setelah itu barulah Dang Hyang Markandya berasrama di Taro yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.
Pura Gunung Raung ini terletak di antara Banjar Taro Kaja dan Banjar Taro Kelod. Pura ini menjadi perbatasan dari kedua banjar tersebut. Desa Taro ini terletak di Kecamatan Tegallalang Kabupaten Gianyar. Pura Gunung Raung ini terletak di hilir atau teben dari Banjar Taro Kaja dan di hulu atau luwan Banjar Taro Kaja. Pendirian pura inilah yang ada kaitannya dengan riwayat perjalanan Rsi atau Dang Hyang Markandya dari Jawa Timur ke Bali.
Dalam lontar Bali Tatwa diceritakan perjalanan Rsi Markandya dari Jawa Timur ke Bali. Pada mulanya Rsi Markandya berasrama di Damalung Jawa Timur. Beliau mengadakan perjalanan suci (tirthayatra) ke arah timur dan sampailah beliau di Gunung Hyang. Di tempat ini beliau tidak mendapatkan tempat yang ideal. Selanjutnya, Rsi Markandya melakukan perjalanannya ke arah timur lagi. Dalam perjalanan menuju ke timur itu beliau menemukan tempat di Gunung Raung Jawa Timur. Di tempat inilah beliau membangun asrama untuk beberapa lama. Di Asrama Gunung Raung, Rsi Markandya melakukan samadi. Dalam samadinya beliau mendapatkan petunjuk agar beliau mengadakan perjalanan ke Pulau Bali. Pada suatu hari yang baik beliau mengadakan perjalanan ke Bali  diikuti oleh 8.000 pengikut.
Sampai di suatu tempat dengan hutannya yang lebat beliau berkemah dan membangun areal pertanian. Namun entah apa sebabnya sebagian besar pengikut beliau kena wabah penyakit dan meninggal. Tinggal hanya 4.000 pengikut saja. Rsi Markandya kembali ke Jawa Timur mohon petunjuk pada Sang Hyang Pasupati. Setelah melalui samadi Rsi Markandya mendapatkan petunjuk bahwa kesalahannya adalah tidak mengaturkan sesaji untuk mohon izin merabas hutan. Setelah itu Rsi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung atau disebut juga Ukir Raja. Beliau diikuti lagi oleh pengiring yang disebut Wong Age.
Sampai di Gunung Agung beliau mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu di Besakih yaitu di Pura Basukian sekarang. Setelah itu barulah beliau membangun lahan pertanian dengan hati-hati untuk mengembangkan kehidupan agraris. Pengembangan areal pertanian terus dilakukan oleh rombongan Rsi Markandya sampai ke Gunung Lebah. Sampai ke Desa Puakan, di desa inilah beliau mengadakan penataan kehidupan petani seperti pembagian tanah, dan lain - lain. Desa itulah terus bernama Desa Puakan. Beliau juga mengadakan pembukaan areal pertanian sampai di Desa Sarwa Ada. Setelah semua pengikutnya mendapatkan areal pertanian untuk mengembangan kehidupan agraris lalu beliau membangun suatu pasraman yang mirip dengan pasramannya di Gunung Raung Jawa Timur. Setelah itu kembali Rsi Markandya mendapatkan beberapa kesulitan. Untuk itu Rsi Markandya kembali ke Jatim dan mengadakan samadi. Dalam samadi itulah beliau mendapat petunjuk agar melakukan samadi di pasraman beliau di Bali. Setelah kembali ke Bali lalu beliau mengadakan samadi ternyata Rsi Markandya melihat ada sinar di suatu tempat. Nyala itu ternyata berasal dari sebatang pohon yang menyala. Di pohon yang menyala itulah Rsi Markandya mendirikan Pura Gunung Raung sekarang.
Oleh karena berasal dari pohon yang menyala akhirnya tempat itu dinamakan Desa Taro yang berasal dari kata ”taru” yang artinya pohon. Pura dan pasramannya dibuat mirip dengan yang ada di Gunung Raung, karena itulah pasraman dengan puranya diberi nama Pura Gunung Raung di Desa Taro sekarang. Di Desa Taro ada sapi putih yang konon keturunan Lembu Nandini. Sampai tahun 1974 keturunan sapi putih itu masih ada beberapa ekor saja. Sapi putih itu sangat dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang rsi yang menganut paham Waisnawa. Tetapi dengan adanya sapi putih itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Rsi Markandya juga amat menghormati keberadaan paham Siwaistis yang memang merupakan suatu sekte dalam agama Hindu. Sekte itu adalah sampradaya atau perkumpulan perguruan nonformal untuk mendalami ajaran agama Hindu yang merupakan agama yang terbuka untuk siapa saja. Masing-masing sampradya memang memiliki ciri khasnya sendiri seperti Ista Dewata yang dipilih dan sistem Adikari atau metode pendalaman kerohanian. Tetapi dasarnya semuanya sama yaitu kitab suci Weda.

8 komentar:

  1. Harus di posting lebih banyak informasi seperti ini.. sehingga banyak orang yg tau akan sejarah .. mantap

    BalasHapus
  2. Harus di posting lebih banyak informasi seperti ini.. sehingga banyak orang yg tau akan sejarah .. mantap

    BalasHapus
  3. artikel bagus bli, namun boleh saya bertanya dimana kira2 saya bisa mencari sumber tertulis seperti jurnal ilmiah/ artikel ilmiah tentang desa Taro? suksma

    BalasHapus
  4. Bermanfaat sekali mkasi bnyak bli.. mkasi

    BalasHapus
  5. Bermanfaat sekali mkasi bnyak bli.. mkasi

    BalasHapus
  6. Bermanfaat sekali mkasi bnyak bli.. mkasi

    BalasHapus
  7. sangat bermanfaat, dan tolong ditambahkan untuk sejarah atau profil desa pakraman ked nya nike bli

    BalasHapus